Selasa, 01 Januari 2013

Sudahkah kita seperti mereka?



BUKTI CINTA ABU BAKAR
www.google.com

Belajar dari cerita sahabat Rasulullah SAW. Banyak ibroh dan mutiara kata yang dapat kita petik dari setiap perjalanan hidup mereka. Sejengkal demi sejengkal jejaknya tak akan pernah luput untuk menyisakan berbagai asa indah dan ghirah diri. Mereka takkan pernah berhenti menunjukkan ketaatan dan kecintaan pada ALLOH SWT dengan penunjukan kecintaan kepada Rasul. Dan sudahkah kita seperti mereka? Hikz,,,hikz,,,(malu dengan yang membuat hidup). Kita janganlah kalah dengan Abu Bakar yang setia menjaga Rasul dalam keterjagaannya dalam tidur yang lelap dan Ali Bin Abi Thalib yang dengan keberaniannya menggantikan jasad Rasul ketika dikejar kaum kafir. Banyak  lagi cerita/shirah lain yang patut untuk kita jadikan renungan diri..dan jadikan tauladan untuk hidup kita.
Seperti bukti kecintaan Abu Bakar pada Rasulullah SAW.

Ketika Rasulullah berada di hadapan, 
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala 
Tahukah kalian apa yang terjelma? 
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.

“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.

Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.

Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.

Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.