BUKTI CINTA ABU BAKAR
www.google.com |
Belajar dari cerita sahabat Rasulullah SAW. Banyak
ibroh dan mutiara kata yang dapat kita petik dari setiap perjalanan hidup
mereka. Sejengkal demi sejengkal jejaknya tak akan pernah luput untuk
menyisakan berbagai asa indah dan ghirah diri. Mereka takkan pernah berhenti
menunjukkan ketaatan dan kecintaan pada ALLOH SWT dengan penunjukan kecintaan
kepada Rasul. Dan sudahkah kita seperti mereka? Hikz,,,hikz,,,(malu dengan yang
membuat hidup). Kita janganlah kalah dengan Abu Bakar yang setia menjaga Rasul
dalam keterjagaannya dalam tidur yang lelap dan Ali Bin Abi Thalib yang dengan
keberaniannya menggantikan jasad Rasul ketika dikejar kaum kafir. Banyak lagi cerita/shirah lain yang patut untuk kita
jadikan renungan diri..dan jadikan tauladan untuk hidup kita.
Seperti bukti kecintaan Abu Bakar pada Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung
kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda
Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa
tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas
kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki
mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang
Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil
berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga,
dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia
tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya
lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya,
keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa
penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia
tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata
pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan
darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam
setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka
membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk
bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu
Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah
indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah.
Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan
kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat
yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di
pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera
kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya selama hidup
kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah
terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar,
mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus
terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya.
Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini
selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu
Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi.
Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan
orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan.
Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang
begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah
kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat
berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk
membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan
remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah,
masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular
mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar
menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari
hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia
mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan
kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit
pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular
itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas.
Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu
tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi
Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya,
kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin
tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena
menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu
kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra
Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak
seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab
Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air
matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja.
Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di
pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu
wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa
menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih pergelangan kaki
yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, Nabi
mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa
sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi
masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti
manusia indah seperti mu. Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu
Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng
kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya
membebani pangkuan penuh berkah itu.
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki
pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah.
Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa menyemesta.
Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah
dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah
adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya
jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya
begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi
pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut,
mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika
Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha
Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar
murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil
mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur
“Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan
sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan
dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk
terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat
khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak
sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang khalifah
juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali
kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun
ketika kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam
memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang
atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim.
Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan
di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu
Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut
Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja
mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi
dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?
ref. eramuslim.com dengan perubahan
ref. eramuslim.com dengan perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar